STHD Klaten

Profile STHD Klaten Pokjar di Banyuwangi

Pendahuluan

Hindu adalah agama tertua di dunia. Seluruh umat manusia di dunia pun mengakui kebenaran ini. Namun harus diakui pula bahwa dalam bidang pendidikan keagamaan secara modern Hindu merupakan yang paling muda. Situasi pendidikan agama Hindu saat ini tidak terlepas dari kondisi pendidikan di masa yang silam. Kita telah mengetahui melalui perkembangan sejarah agama Hindu di masa silam yang berwarna kelam dan dampaknya masih memberi rona hitam terhadap pendidikan agama Hindu dewasa ini. Dampak dari tidak sitematisnya pendidikan agama Hindu di masa lalu sampai masa kejayaan Nusantara II (keruntuhan Majapahit) adalah pusat pendidikan agama yang keraton sentris pada situasi masyarakat feodal yang tidak demokratis, maka dalam waktu singkat agama Hindu yang pernah dipeluk oleh hampir seluruh bangsa Indonesia saat itu, mudah saja ditinggalkan dan beralih agama ke agama Islam yang terbuka, demokratis dan sistem pendidikan agamanya terencana secara baik.

Situasi pendidikan agama atau tepatnya situasi kehidupan agama Hindu saat itu betul-betul sangat menyedihkan, sampai klimaknya pada masa kemerdekaan. Astungkara Ida Sanghyang Widdhi Wasa tidak membiarkan agama Hindu lenyap begitu saja di bumi Nusantara tercinta ini. Bali sebagai pulau pilihan dewata, atas jasa seorang rsi agang bernama Ràjakåta, yang pada masa pemerintahan raja suami-istri Mahendradatta Guóa-priyàdharmapatnì dan Dharma Udayana Warmadewa menjabat sebagai Senapati I Kuturan, sebagai pimpinan kabinet “pakira-kira i jero makabehan” berhasil menata kehidupan umat Hindu di Bali dengan menerapkan sitem pemujaan secara bertingkat mulai dari tempat pemujaan di hulu pekarangan yang disebut sanggah atau pamarajan, kahyangan tiga dan kahyangan desa, sad kahyangan dan kahyangan jagat, dan sitem pengembangan agama melalui para pandita keluarga dan rakyat pada umumnya, yakni para pamangku sebagai pandita desa saat itu, berhasil terbukti sangat kuat, mampu mengikat umat Hindu di Bali secara turun-temurun memegang teguh dan mengikuti ajaran agamanya dengan baik.

Namun demikian pada masa perkembangan berikutnya terjadinya penyimpangan ajaran agama yaknio càtur varóa menjadi kasta merupakan salah satu sebab awal dari kemunduran pendidikan agama yang harus disadari oleh semua pihak bila ingin agama Hindu tetap lestari di bumi Nusantara ini. Lebih-lebih kondisi ini justru tidak disia-siakan oleh para penjajah Belanda untuk memecah belah masyarakat Nusantara melalui taktik yang dikenal sebagai “devide et impera”.

Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, kedua bangsa ini benar-benar tidak memperhatikan kondisi pendidikan pada umumnya, apalagi pendidikan agama Hindu. Untunglah berkat kemerdekaan bangsa Indonesia, umat Hindu (yang waktu itu hanya dikenal di Bali saja) melihat segala kekurangan masa lampau, berusaha untuk memajukan taraf kehidupan yang lebih baik sesuai dengan alam kemerdekaan, maka mulailah berbagai kebijakan ditelorkan, termasuk menghapus berbagai produk hukum masa silam yang bertentangan dengan HAM dan ajaran agama dihapuskan, di antaranya penghapusan hukum “Asupundung, Anglang-kahikaranghulu, Manaksalah dan lain-lain termasuk mulai memajukan pendidikan agama Hindu di sekolah-sekolah walaupun belum semua sekolah mendapatkan pendidikan agama Hindu, karena memang belum disiapkan guru agama Hindu saat itu.

Tahun 1951 dengan datangnya seorang missionaris Hindu, Bapak Narenda Deva Pandita Shastri ke Bali, mulailah disusun teks puja Tri Sandhya, buku Vedaparikrama, Veda Sanggraha dan pada tahun 1959 didirikan PGAA Hindu Dwijendra (embrio STAH Negeri Denpasar). Pada tanggal 23 Februari 1959 didirikan Parisada Dharma Hindu Bali yang kemudian berubah menjadi Parisada Hindu Dharma dan perkembangan berikutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia. Pada tanggal 3 Oktober 1963 berdiri Institut Hindu Dharma Denpasar, yang cukup banyak menelorkan sarjana agama dan sudah menyebar ke seluruh pelosok negeri yang kemudian juga menjadi embrio berdirinya STAH baik negeri dan swasta di Indonesia seperti di Lombok, Kalimatan, Jakarta, Lampung, Klaten dan masih banyak lagi lainnya. Namun tahun 1993 penegeriannya dibatalkan, digantikan dengan Universitas Hindu Indonesia (UNHI) yang mahasiswanya menurun drastis. Bak gayung bersambut tahun 1993 PGA Hindu Negeri Denpasar yang sebelumnya dibubarkan, kemudian ditingkatkan statusnya menjadi APGAH dan baru 1999 ditingkatkan lagi menjadi STAH Negeri Denpasar.

Dalam pada itu, tahun 1977 mulai meningkat jumlah formasi pengangkatan guru-guru agama Hindu tingkat SD, SLTP dan SLTA. Ternyata terjadi kekurangan calon guru agama Hindu. Saat itu di Singaraja dan juga di luar Bali (termasuk di Banyuwangi) dilaksanakan ekstranaen PGA Hindu untuk mengatasinya. Di Banyuwangi sendiri pada saat ini masih banyak guru-guru agama Hindu yang diproduksi oleh proyek tersebut. Sehingga sulit untuk mengembangkan kualitas guru-guru agama Hindu itu sendiri.

Berbekal nekat sebagaimana peribahasa Jawa yang mengatakan “ati karëp bandha cupët” akhirnya beberapa orang guru agama Hindu di Jawa Timur seraya njajah desa milang kori pergi ke Klaten untuk menempuh pendidikan Sarjana Strata Satu (S1). Mereka adalah Bp. Riyanto, Bp. Sariyono dan Bp. Sutikno. Bak gayung bersambut tepuk pun berbalas, lebih-lebih dengan disahkannya UU Sisdiknas yang baru di mana dalam UU tersebut disebutkan bahwa nantinya semua guru harus berijasah S1 dan Akta IV. Tak lama berselang setelah ketiga orang tersebut menyelesaikan studinya dari Klaten maka disusul oleh keenam orang sarjana muda agama Hindu dari Banyuwangi juga tidak mau ketinggalan kereta. Mereka adalah : Bp. Sudarsono, Bp. Sarjono, Bp. Salwan, Bp. Legimin, Bp. Swastiono dan Ibu Misiyati. Hanya selang beberapa bulan jejak kesembilan sarjana tersebut diikuti oleh puluhan rekan-rekannya yang berijasah PGAH dan D2 Agama Hindu.

Dalam pada itu untuk mempermudah mahasiswa yang berada di Banyuwangi maka pihak STHD Klaten memberikan kebijakan untuk mengadakan perkuliahan di Banyuwangi dengan membentuk kelompok belajar atau disingkat (POKJAR). Kemudian pihak STHD pun menunjuk beberapa asisten dosen yang ada di Banyuwangi sebagai pengurus POKJAR tersebut.

Selanjutnya melalui POKJAR ini, STHD Klaten menjaring pemuda-pemudi Hindu yang masih berijasah SMA, D2 maupun S1 umum lainnya yang berminat menjadi seorang Sarjana Agama Hindu. Selain itu POKJAR juga menjaring beberapa tenaga pengajar lokal yang kebetulan sudah berijasah Sarjana Strata Satu untuk memberikan kuliah kepada mahasiswa yang berasal dari SMA. Hingga saat ini perkuliahan STHD Klaten dilaksanakan di POKJAR Banyuwangi.

Maksud dan Tujuan

Awalnya maksud dan tujuan didirikannya STHD Klaten POKJAR di Banyuwangi ini adalah untuk memenuhi kebutuhan para guru agama Hindu yang secara formalitas harus berijasah S1. Namun dengan bertambahnya mahasiswa baru dan tenaga pengajar serta kompleksitas permasalahan pendidikan keagamaan Hindu di Banyuwangi, maka ada sebagian civitas akademika di POKJAR Banyuwangi yang menginginkan berdirinya STHD atau STAH di Kabupaten Banyuwangi atau setidak-tidaknya di wilayah Jawa Timur. Mengingat secara kuantitas jumlah umat Hindu di Kabupaten Banyuwangi (Jawa Timur pada umumnya) sangatlah besar dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Jawa.

Statuta

Kelompok Belajar (POKAR) di Banyuwangi bukanlah cabang dari STHD Klaten. POKJAR di Banyuwangi hanyalah kelompok perkuliahan yang dibentuk secara lokal mengingat besarnya jumlah mahasiswa yang ada di Banyuwangi. Namun demikian sesuai instruksi Ketua STHD Klaten, Ketua beserta Pengurus POKJAR berwenang mengatur rumah tangga akademis selama tidak menyimpang dari kebijakan-kebijakan dari Lembaga STHD Klaten. Dan memang untuk pengambilan kebijakan-kebijakan di POKJAR, Ketua beserta Pengurus POKJAR selalu berkoordinasi dengan pihak STHD Klaten.

Kepengurusan

Kepengurusan untuk POKJAR di Banyuwangi ini dipegang oleh seorang Ketua, seorang Sekretaris dan seorang Bendahara. Adapun susunan pengurus inti dari POKJAR di Banyuwangi adalah sebagai berikut :

Ketua               : Miswanto, S.Ag.

Sekretaris         : Drs. Agus Wiyono

Bendahara       : Drs. Supriyadi

Kegiatan

Kegiatan yang dilaksanakan di POKJAR Banyuwangi tidak jauh berbeda dengan kegiatan yang dilaksanakan di Klaten. Di sini akan dibedakan menjadi kegiatan rutin yang berupa program semester dan tahunan serta kegiatan yang bersifat insidental. Untuk kegiatan rutin tiap semester atau perkuliahan dilaksanakan setiap hari Jumat dan Sabtu. Kegiatan tahunan juga dilaksanakan seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN), Kuliah Kerja Lapangan (KKL) serta Praktek Pengalaman Lapangan (PPL). Sedangkan untuk kegiatan insidental dilaksanakan dengan cara Sad Dharma sebagaimana tertuang dalam sastra dan susastra Veda.

2 Komentar Add your own

  • 1. Drs.I Made Wistra,M.M,MBA  |  Maret 5, 2010 pukul 5:51 am

    maju terus dan jayalah hindu di nusantara.

    Balas
  • 2. Ir. I Gede erick Satriayudha  |  April 20, 2011 pukul 10:14 am

    Perlu dilanjutkan terus POKJAR ini terutama untuk Surabaya agar tidak banyak krama di Surebaye beralih ke agama lain, karena kurangnya pendalaman juga pendidikan yang mendukung terutama untuk calon-calon pendidik. Jangan mengandalkan Parisada Hindu untuk mendirikan sekolah tinggi agama jindu di surabaya.

    Balas

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed